Selasa, 10 Februari 2015

tari tortor

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Di awali dengan melimpahnya kebudayaan Indonesia yang terlihat dari beragamnya bentuk pertunjukan, tarian, alat musik, dan pakaian. Bukan hal mudah untuk menciptakannya karena harus mencurahkan akal budi dan daya upaya masyarakat suatu wilayah. Wajar jika kemudian terjadi perdebatan panjang saat Tari Tor-tor dan Gordang Sembilan (Gondang Sembilan) dari Mandailing, Sumatra Utara, dinyatakan akan menjadi hak cipta Malaysia.
Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga, kata “Tor-tor” berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga berirama mengentak. Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui.
Pesan ritual itu, lanjut Togarma, ada tiga yang utama. Yakni takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu. “Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur,”.

1.2  Rumusan Masalah
Pada bahasan kali ini akan menjelaskan
  1. Apa itu makna dari Tari Tortor  ?
  2. Apa pakaian adat yang digunakan saat menari tortor?
  3. Apa alat musik yang mengiringi tari tortor?

BAB II
ISI

2.1 Penjelasan Dan Makna Tari Tor Tor
Tortor Batak Toba adalah jenis tarian purba dari Batak Toba yang berasal dari Sumatera Utara yang meliputi daerah Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir dan Samosir. Tortor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Secara fisik tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, di mana melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara.
Tortor dan musik gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan. Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (Hasuhutan) melakukan acara khusus yang dinamakan Tua ni Gondang, sehingga berkat dari gondang sabangunan.
Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari hasuhutan (yang mempunyai hajat akan memintak permintaan kepada penabuh gondang dengan kata-kata yang sopan dan santun sebagai berikut : “Amang pardoal pargonci” :
  1. “Alualuhon ma jolo tu ompungta Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa na adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion.”
  2. “Alualuhon ma muse tu sumangot ni ompungta sijolojolo tubu, sumangot ni ompungta paisada, ompungta paidua, sahat tu papituhon.”
  3. ‘”Alualuhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo.”
Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah permintaan/seruan tersebut dilaksanakan dengan baik maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari.
Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan adalah seperti , Permohonan kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan.
Ada banyak pantangan yang tidak diperbolehkan saat manortor, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapa pun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat (moncak), atau adu tenaga batin dan lain-lain. Tari tortor digunakan sebagai sarana penyampaian batin baik kepada roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam   bentuk tarian menunjukkan rasahormat.roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam bentuk tarian menunjukkan rasa hormat.
2.2 Makna Pakaian Ulos dan Gondang Sembilan
Ulos

Setiap penari tortor harus memakai ulos dan mempergunakan alat musik/gondang (Uninguningan). Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan. Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.
Gondang Sembilan
Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh.  Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.
Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. “Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug.” Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. “Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara,”.
Sayangnya keindahan budaya Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan ternoda dengan kurangnya penghargaan. Sulit mencari pihak yang mau membiayai pagelaran budaya ini, terutama di Ibu Kota. Hanya karena pejuang-pejuang seni Batak, Tari Toro-tor dan Gondang ini masih tumbuh dan terlihat keberadannya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada bahasan kali ini kita dapat menyimpulkan bahwa sudah selayaknya dan sudah menjadi kewajiban kita para pemuda  untuk terus berusaha dan berupaya untuk terus melestarikan kebudayaan kita yang telah ditinggalkan dalam bentuk budaya ,tarian maupun bentuk bangunan bersejarah. Bukan hal mudah untuk menciptaka suatu budaya karena harus mencurahkan akal budi dan daya upaya masyarakat suatu wilayah. Oleh karena itu kita sebagai generasi muda harus mempertahankan budaya kita sendiri agar tidak di rebut oleh negara lain.
Yang harus di ketahui oleh generasi muda agar tetap mempertahankan kebudayaan daerahnya tidak hanya Tari Tortor tapi untuk budaya yang lainya baik dari segi budaya seni tari,seni musik,alat musik, Senjata khas daerah . Karena  kebudayaan itu adalah pengisi batin, bagian dari kehidupan. Karena hidup tidak cukup dengan makan saja, jiwa juga harus terisi seni .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar